Jumat, 08 Mei 2015

UNDER ARMOUR—CHALLENGING NIKE IN SPORTS APPAREL

Company Background
Under Armour didirikan pada tahun 1996 oleh Kevin Plank, mantan pemain sepak bola dari University of Maryland. Plank memiliki ide desain pakaian olah raga dengan tekstil sintetis yang dimana pakaian akan tetap kering pada saat berkeringat atau “wicked away” walaupun semakin tinggi aktivitas olah raga yang dilakukan. Perusahaan ini awalnya bernama KP Sports dan berganti nama pada saat go public di akhir tahun 2005. Plank percaya bahwa Under Armour memiliki potensi untuk bertumbuh dalam waktu jangka panjang karena kemampuan perusahaan untuk membangun merek yang sangat kuat hanya dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, peluang yang signifikan untuk memperluas pasar mereka, dan fakta bahwa perusahaan hanya pada tahap awal membangun merek dan menembus pasar di luar Amerika Utara.
Under Armour merupakan perusahaan pelopor dalam performance apparel. Maksudnya adalah pakaian yang dirancang untuk menjaga atlet tetap nyaman,kering,dan leluasa sepanjang permainan, latihan atau olahraga. Teknologi di balik berbagai beragam produk Under Armour untuk pria, wanita dan pemuda sangat rumit, namun ide tersebut sangat sederhana yaitu Under Armour memiliki 3 cara dalam memproduksi produk nya yaitu HeatGear untuk kondisi panas lalu CoolGear untuk kondisi dingin dan terakhir ada AllSeasonGear untuk segala situasi. Misi dari Under Armour adalah untuk membuat gairah atlet semakin tinggi dalam olahraga melalui semangat dan desain inovasi yang ditawarkan melalui produk Under Armour. Sejak diperkenalkannya jenis teknologi pakaian olahraga, konsep tersebut telah banyak ditiru oleh semua merek olahraga utama.
Under Armour’s Strategy
Misi dari Under Armour adalah “to make all athletes better through passion, design, and the relentless pursuit of innovation” yang maksudnya adalah membuat semua atlet menjadi lebih baik dan berhasrat melalui inovasi. Mengacu pada misi dari Under Armour sendiri strategi perusahaan mengikutinya yaitu dengan berencana mengalhkan pesaingnya di sports apparel untuk mencapai profitabilitas unggul melalui penetrasi pasar melalui fitur fitur yang ditawarkan oleh Under Armour sendiri dimana keunggulan desain dan juga fitur performa dimana bahan yang digunakan oleh Under Armour dapat membuat kenyamanan tingkat tinggi bagi penggunanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage) berdasarkan fitur diferensiasi, seperti kualitas tinggi, pemilihan produk yang lebih luas, meningkatkan performa pengguna,nilai lebih dari pelayanan, style yang lebih menarik, dan keunggulan teknologi. Merk dari Under Armour sendiri diposisikan sebagai merk dengan kualitas tertinggi dan terbaik yang tersedia. Under Armour sendiri dilihat sebagai produk dengan kualitas tinggi dan berada pada keunggulan harga di pasar. Produk dari sepatu Under Armour pun sudah mulai dikenal oleh banyak orang dan dari pihak Under Armour berharap agar “Brand Position” mereka tidak hanya dilihat dari kualitas apparel sport tetapi juga dapat diadopsi dari produk mereka yang lain yaitu sepatu.
Under Armour menguraikan strategi mereka mulai dari pertumbuhan, lini produk, pemasaran dan distribusi. Under Armour mengejar strategi pertumbuhan untuk terus memperluas penawaran produk perusahaan, menargetkan segmen konsumen tambahan, mengamankan distribusi produk mereka. Strategi lini produk terdiri dari menciptakan lini produk yang beragam. Dalam strategi pemasaran olahraga Under Armour mereka melakukan kesepakatan dengan berbagai perguruan tinggi dan olahraga profesional tim, mensponsori berbagai macam perguruan tinggi dan acara olahraga profesional, dan menjual di bawah produk Under Armour langsung ke tim manajer peralatan dan atlet individu. Strategi pemasaran ritel mereka meningkatkan ruang khusus yang didedikasikan untuk produk Under Armour di toko-toko ritel. Hal ini akan meningkatkan visibilitas produk mereka dan meningkatkan brand awareness kepada para calon konsumen.

Porter Five Forces Model
Porter five forces model digunakan untuk menganalisis profitabilitas dari industry sports apparel dimana Under Armour bermain di Industri tersebut. Industry dari sports apparel ini termasuk sangat kompetitif karena permintaan akan produk produk yang berkaitan sangat banyak sekali yang mengakibatkan setiap perusahaan yang bermain di industry sports apparel harus berusaha keras untuk memposisikan merk mereka dimata konsumen agar konsumen tetap memilih produk produk dari merk mereka.
Persaingan antara perusahaan-perusahaan yang sudah mapan begitu sengit.  Industry apparel olahraga sangat kompetitif dan permintaan atas spesifikasi produk-produknya sangat tinggi. Switching cost yang rendah juga membuat persaingan semakin sengit. Kunci para pesaing dari Under Armour memiliki tingkat modal yang tinggi dan telah berhasil menerapkan economies of scale. Diferensiasi yang rendah dari produk juga semakin memanaskan persaingan.
Ancaman dari pesaing baru yang masuk ke dalam industry juga cukup tinggi. Olahraga dunia secara luas dan pasar bisnis clothing telah menjadi saksi berbagai trend yang berkembang di pasar seperti kesadaran akan gaya hidup sehat yang meningkat, munculnya jenis olahraga baru dan meningkatnya jumlah partisipan olahraga. Pada saat ini ada begitu banyak competitor yang tidak terhitung jumlahnya terdorong untuk memasuki pasar. Barriers to entry yang ada termasuk rendah dikarenakan pada industry apparel olahraga.
Dari berbagai macam strategi yang dilakukan oleh Under Armour, berikut merupakan kunci kesuksesan Under Armour dalam persaingan di industri pakaian olah raga dunia:

1.      Research & Development 

Untuk bersaing dengan pemain besar yang sudah lama berkiprah di industri pakaian olah raga, seperti Nike dan Adidas, Under Armour menginvestasikan banyak pada penelitian dan pengembangan produk. Under Armour berfokus pada inovasi pengembangan produk dalam hal desain, kesesuaian  produk (fit/pas) yang tepat dengan kondisi cuaca dan tubuh konsumen. 
2.      Sports marketing
Pemasaran dalam dunia bisnis sangat penting, khususnya dalam industri pakaian olah raga. Disamping itu, pemasaran industri pakaian olah raga memerlukan biaya yang besar. Under Armour mengeluarkan biaya untuk pemasarannya berkisar $168 juta (mengalami peningkatan 31% dari tahun sebelumnya). Biaya pemasaran tersebut digunakan untuk mensponsori pakaian tim olah raga. Dengan menjadi sponsor di beberapa tim olah raga, para penggemar olah raga akan terpengaruh untuk menggunakannya seperti apa yang dipakai oleh tim olah raga kesukaannya. Sehingga menjadi sponsor tim olah raga memiliki dampak dan pengaruh yang besar terhadap penjualan produk Under Armour.
3.      Distribution Strategy
Dalam industri pakaian olah raga yang sudah banyak pemain besarnya, sangat penting untuk membuat dan mengelola jaringan distribusi secara efisien agar dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Melalui toko grosir dan eceran yang tersebar di banyak wilayah dunia seperti di Amerika Utara, Eropa dan Asia dan, Under Armour dapat memenuhi permintaan konsumen. Selain itu, Under Armour menawarkan produk langsung ke konsumen melalui jaringan internet. 

SWOT Analysis
Dalam SWOT Analysis kita dapat melihat kakuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki oleh Under Amour. Berikut uraiannya:
1.      Strength
Under Armour memiliki kelebihan utama dalam inovasi produk pakaian olah raga. Inovasi tersebut ialah produk pakaian olah raga dengan menggunakan bahan kain yang disesuaikan dengan kondisi tubuh dan cuaca sehingga nyaman untuk dipakai. Produk-produk Under Armour tersebut diantaranya: HeatGear yang dirancang untuk digunakan di kondisi cuaca panas yang dimana badan si pengguna pakaian akan tetap terasa sejuk, kering dan ringan selama beraktivitas olah raga; ColdGear(r) yang dirancang untuk digunakan di kondisi cuaca dingin yang dimana temperatur badan si pengguna pakan tetap terasa hangat pada saat melakukan kegiatan olah raga di musim dingin seperti olah raga ski; dan AllSeasonGear yang dirancang dengan menggunakan bahan teknikal untuk menjaga si pengguna pakaian tetap merasa sejuk dan kering saat digunakan di kondisi cuaca yang berubah-ubah. Selain itu, Under armour juga mengembankan produk Charged Cotton, yang dibuat dari kain kering alami dan Storm Fleece, yang tahan air.
2.      Weaknesses
Under Armour menggunakan bahan mentah yang dikembangkan dan diproduksi oleh pihak ketiga dan ketersediaan sumber daya yang terbatas. Selain itu, dikarenakan bahan biaya bahan Under Armour, petroleum-based synthetics, yang fluktuatif mengikuti harga minyak mentah dunia. Kurangnya hak paten yang dimiliki oleh Under Armour, terbatasnya distributor internasional hingga kurangnya lini produk menjadi kelemahan yang dimiliki oleh Under Armour.
3.      Opportunities
Under Armour merupakan perusahaan baru di industri pakaian olah raga masih memiliki banyak peluang untuk lebih sukses dari Nike maupun Adidas. Under Armour dapat membidik generasi muda yang sedang gencar hidup sehat dengan berolahraga di dalam maupun luar ruangan yang membutuhkan pakaian yang nyaman dan inovatif sehingga dapat mendukung kegiatan olah raga mereka. Selain itu, masih banyak negara yang belum dimasuki oleh Under Armour sehingga menjadi peluang besar bagi perusahaan untuk memperluas jaringan pasar.
4.      Threats
Berbagai ancaman yang dihadapi oleh Under Armour seperti halnya produk diferensiasi dan produk substitusi dari merek lain. Disamping itu, biaya pekerja yang tinggi di beberapa negara seperti Amerika dan Tiongkok dan juga harga petroleum yang fluktuatif dapat menjadi ancaman bagi Under Armour dalam proses produksi.

Kesimpulan dan Saran

Under Armour merupakan perusahaan baru dalam industri sport apparel yang masih memiliki kesempatan yang luas untuk menjadi perusahaan yang sukses dan dapat mengalahkan perusahaan besar seperti Nike maupun Adidas. Under Armour memiliki kelebihan tersendiri dalam inovasi produk yaitu produk pakaian yang menggunakan teknologi cotton storm dan juga disesuaikan dengan kondisi cuaca dan tubuh si pemakai. Under Armour perlu meningkatkan investasinya dalam research and development untuk selalu berinovasi, menetapkan hak paten, memperbanyak lini produk dan diversifikasi produk dan juga memperluas jaringan internasional.  


Penulis : Arthur A. Thompson, University of Alabama

A preliminary study of ecommerce adoption in developing countries

INTRODUCTION
E-commerce adalah salah satu contoh yang paling terlihat dari cara di mana teknologi informasi dan komunikasi dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, meskipun upaya dan berbagai inisiatif, kita masih sangat jauh dari memastikan bahwa manfaat dari ICT yang tersedia untuk semua.

THEORETICAL BACKGROUND
Secara historis, ada dua aliran paralel penelitian konvergen pada adopsi TI. Di satu sisi, sementara penelitian dari sekolah positivis telah berkonsentrasi pada tujuan, statistik dari sebagian besar model varian difusi dan adopsi.
TAM adalah analog dekat Difusi Teori (Moore & Benbasat, 1991; Rose & Straub, 1998). Pertama, manfaat yang dirasakan didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang percaya bahwa sistem tertentu akan meningkatkan kinerja; Keuntungan relatif sejauh mana seseorang percaya bahwa teknologi tertentu akan meningkatkan tambahan melalui ogy technology. Kedua, persepsi kemudahan penggunaan didefinisikan sebagai keyakinan seseorang yang menggunakan sistem akan memerlukan sedikit usaha atau tidak akan memiliki kurva belajar yang curam; kompleksitas didefinisikan sebagai keyakinan seseorang bahwa adopsi teknologi akan memerlukan sedikit kesulitan pemahaman dan penggunaan. Ketiga, pengaruh sosial atau norma subjektif adalah persepsi bahwa orang-orang penting kepada pengguna akan menegaskan adopsi; image adalah persepsi bahwa adopsi akan meningkatkan citra pengguna di mata kelompok sosial atau referensi. Keempat, kondisi memfasilitasi lihat kondisi obyektif yang dapat meningkatkan adopsi; kompatibilitas adalah persepsi konsistensi antara apa yang ditawarkan oleh teknologi dan sumber daya pengguna langsung dan nilai-nilai. Singkatnya, baik TAM dan Difusi Teori memeriksa mekanisme mendefinisikan isyarat perilaku terhadap mengadopsi artefak IT.

HYPOTHESIS DEVELOPMENT
Variable persepsi individu teknologi e-commerce
•           Performance expectancy
Harapan kinerja tentang e-commerce akan memiliki efek positif pada adopsi e-commerce di negara berkembang dan bahwa persepsi kegunaan ekonomi akan lebih kuat terkait dengan harapan kinerja dari kegunaan sosial atau strategis.
•           Social influence
Pengaruh sosial, identifikasi dan internalisasi akan memiliki efek positif pada adopsi e-commerce di negara berkembang, dengan identifikasi menjadi penentu yang paling penting dari pengaruh social.
•           Technological Opportunism
Oportunisme teknologi akan memiliki efek positif pada adopsi e-commerce di kalangan pengguna di negara-negara berkembang.

Variables Concerning Individual Perceptions Of Macro-Level Climate
kondisi memfasilitasi didefinisikan sebagai sejauh manaadopter calon di negara percaya bahwa faktor yang memungkinkan ada untuk mendukung adopsi teknologi e-commerce. Penerapan dari e-commerce sendiri juga sangat bergantung pada tingkat makro dari sosial dan ekonomi juga keadaan fasilitas yang menunjang, hanya dengan begitu maka e-commerce dapat berjalan dengan baik pada negara berkembang.
H4: untuk para pengguna di negara berkembang, kondisi fasilitas akan sangat berperan untuk menjembatani hubungan antara persepsi para penggunanya terhadap e-commerce dan pengadopsiannya.

Control Variables
Penelitian ini melibatkan 3 kontrol variabel yaitu: level of privatization of ICT, gross domestic product (GDP) per capita and gross national product (GNP)

Research Methodology
Data untuk penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan survei lapangan berdasarkan kuesioner yang dikelola untuk pengguna di negara-negara berkembang dengan bantuan dari PBB dan beberapa lembaga LSM. 
Survei ini dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan WebSurveyor 3.0. Survei itu diberikan secara online dan dapat diakses antara Desember 2005 dan Februari 2006.
Jumlah terhitung ada 172 responden dari 37 negara, 73 reponden lebih rendah dari jumlah awal peserta bersedia, tingkat respon akhir sekitar 37,7%. Peserta termasuk pengusaha (16%) dan karyawan di kedua swasta (31%) dan publik sektor (53%). Jumlah responden bervariasi antara empat dan enam untuk masing-masing 37 negara. Dari responden, 15,3% adalah perempuan dan 84,7% adalah laki-laki. Usia mereka berkisar 32-51 tahun, dengan rata-rata 39,2 tahun (SD = 4.3). Representasi partisipasi negara adalah sebagai berikut: 12 berasal dari Afrika, 16 dari Asia, 4 dari Balkan dan Commonwealth of Independent States, dan 3 dari Amerika Utara dan 2 dari Selatan Amerika.

Data Analysis
Model penelitian diuji dengan menggunakan parsial lesast squares (PLS).

Discussion Of Results
Penelitian ini menunjukan bahwa harapan dari kinerja dan pengaruh sosial secara langsung mempengaruhi e-commerce. Iklim sosial dan ekonomi juga memainkan peran yang penting sebagai moderatornya.
            Ekonomi, sosial, kebijakan dan akses merupakan hal yang berpengaruh terhadap kondisi yang terjadi dimana kebijakan dan akses merupakan indokator terkuat untuk merubah budaya adaptasi. Tahun 1997 China merupakan negara yang mendukung perubahan mekanisme pasar dimana pada tahun tersebut china mengajak warganya untuk menggunakan e-commerce yang dinamakan Golden Project yang mencakup pembangunan infrastruktur, mengumpulkan, menerapkan pembayaran, dan penerapan rantai pasokan secara online. Negara berkembang dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, teknologi dan kebijakan IT dimana hal ini saling mendukung satu sama lain, dengan adanya teknologi dan kebijakan IT yang mendukung maka perkembangan ekonomi akan didapatkan dengan adanya efisiensi dan peningkatan layananan serta pemantauan yang dapat dilakukan setiap saat oleh pemerintah.
            Adanya fasilitas yang mendukung akan meningkatkan keberhasilan e-commerce dimana hal ini merupakan langkah yang harus dilakukan oleh semua pihak baik perusahaan maupun pemerintah. Fasilitas yang memadai akan menciptakan iklim e-commerce yang baik sehingga tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk e-commerce dapat berkembang dan dapat dengan cepat diadopsi tidak hanya masyarakat namun juga pemerintah.

Batasan dan Kesimpulan
            Study ini menunjukkan budaya e-commerce yang diteliti di negara berkembang sehingga sample yang digunakan bisa tidak mewakili dari populasi yang ada. Perkembangan e-commerce memiliki korelasi yang positif dengan peningkatan ekonomi di suatu negara berkembang dimana dengan penerapan teknologi ini maka kegiatan ekonomi yang terjadi dalam negara terseut dapat dilaksanakan dengan cepat dan dapat di monitoring. Penyediaan fasilitas dan kebijakan yang mendukung penerapan e-commerce menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah, namun demikian penerapan e-commerce ini masih mendapat beberapa anggapan negative mengenai keamanan dikarenakan metode transaksi yang dilakukan berbeda dengan transaksi sebelumnya.  



Sumber: Department of M&IS, Kent State University.

CYNICISM AS USER RESISTANCE IN IT IMPLEMENTATION

Penelitian ini meneliti proses sinisme user yang muncul dan dibentuk menjadi bagian dari resistensi dalam implementasi di bidang IT. Penelitian ini didasari dari perspektif literature sebelumnya dengan menghubungkan proyeksi user sinisme dari sistem masa depan. Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus selama 3 tahun dari implementasi sistem CRM pada unit call center di perusahaan energi Eropa (Energy Technology Inc./ETI). Penulis mengikuti proses implementasi CRM pada ETI untuk menelusuri pola perilaku yang dihasilkan dari perilaku resistensi pada umumnya dan perilaku sinisme pada khususnya.
Pada penelitian ini, penulis mengacu kepada perilaku kognitif yang menjaga jarak terhadap resistensi yang merupakan dampak negatif terhadap implementasi IT dan mewujudkan persepsi untuk melihat tujuan yang dianut oleh para pelaksana (cf. Kunda, 1992; Dean et al., 1998; Fleming, 2005). Ada 3 dimensi menonjol yang dimiliki sinisme user yang merupakan bentuk perlawanan pasif, yaitu :
1.    Cognitive Distance
Sinisme melibatkan kesadaran distancing (menjaga jarak) dengan manajemen (Prasad & Prasad, 2000; Fleming & Spicer, 2003). Fleming (2005) menjelaskan bahwa cognitive distance merupakan bentuk lain dari perilaku yang berasal dari kombinasi pertahanan dan distancing.
2.    Negative Affect
User sinisme melibatkan keadaan terhadap perilaku manajerial (Fleming, 2005; Kim et al, 2009.). Hal ini menggambarkan  tanggapan karyawan terhadap budaya manajemen dan keyakinan bahwa organisasi tidak memiliki integritas yang direspon dengan ejekan, sarkasme, dan ironi.
3.    Seeing through espoused claims
Dalam hal ini berkaitan dengan pengetahuan pribadi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi yang ditunjukkan dengan antisipasi terhadap penipuan, ketidakkonsistenan manajerial, dan membongkar keputusan manajerial.

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini mulai dari Februari 2005. Pengumpulan data yang dilakukan termasuk dari hasil 57 wawancara semistruktur, wawancara informal, analisis dokumen, dan pengamatan yang dilakukan selama beberapa minggu di ETI. Berakhir pada Juni 2007 dimana dimana sistem CRM sudah dibangun dan telah berjalan selama 13 bulan. Selain pengumpulan data yang real time, penulis juga mengumpulkan data retrospective untuk melacak kondisi awal dari implementasi CRM. Hal ini dilakukan dengan review dokumen dan wawancara. 57 wawancara yang dilakukan terdiri dari 14 wawancara untuk manajer di kantor pusat dengan 6 responden, 16 wawancara untuk middle management dengan 9 responden, dan 27 wawancara dengan customer service representatives dengan 18 responden. Wawancara berlangsung rata-rata selama 1 jam dengan direkam dan sebagian ditulis. Setiap pengamatan tercatat melalui catatan lapangan dan ditambahkan ke database penelitian.
Analisis data dilakukan dengan membuka coding dari seluruh materi yang dikumpulkan, mengidentifikasi peristiwa penting dan keputusan untuk membuat kronologi proses implementasi sistem, analisis pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan kepekaan terhadap berbagai interpretasi. Misalnya, penulis mengidentifikasi perbedaan yang signifikan antara front office dan customer service representative terhadap interpretasi mereka dalam implementasi IT.
Case Setting
ETI adalah sebuah perusahaan utilitas di Eropa yang memberikan energi untuk sekitar 6 juta konsumen di Eropa Utara dan merupakan perusahaan energy terbesar dan produsen listrik keempat terbesar di Eropa. Pusat layanan pelanggan ETI ini menerima lebih dari 1.000.000 panggilan per tahun. Pusat layanan pelanggan memiliki sekitar 300 karyawan pada tahun 2005 sebelum pelaksanaan CRM dan 400 karyawan pada tahun 2007 setelah pelaksanaan CRM. Operasional customer service dibagi menjadi dua yaitu front office dan back office. Manajer lini bertanggung jawab atas manajemen strategis situs layanan pelanggan ETI, yang pelaporannya dilakukan kepada kepala produksi di kantor pusat ETI.
Dalam penerapannya, implementasi CRM dalam ETI memiliki 3 urutan episode dari sesistensi pengguna, yaitu :
Episode 1 : implementation postponements (July 2014-April 2016)
Initial conditions
Ada dua kondisi untuk melihat implementasi CRM, yang pertama manajemen menganjurkan sistem lalu melihat cara untuk menyelesaikannya. Penerapaan pada control ini lebih ketat dan dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan jumlah permintaan pelanggan. Sehingga dapat mewujudkan nilai perusahaan yaitu “ lebih cepat, lebih murah, lebih baik”. Kondisi kedua ketidak mampuan. Mengingat sejarah kegagalan IT, manajemen di ETI berharap bahwa penerapan CRM membuat perusahaan menjadi lebih produktif.
Object of resistance
Bulan juli 2005 , ETI memberikan 5 hari program pelatihan. Pelatihan ini untuk menguji system CRM. Awalnya terdapat masalah yaitu keterlambatan dan konfigurasi karena tidak lengkapnya system untuk merevisi materi pelatihan dan model system. Hal ini membuat frustasi diatara peserta karena ini merupakan system baru.
Reaction
Reaksi dari mereka dengan keadaan itu adalah menjadi kurang antusias terhadap system baru ini. Karena mereka takut akan terjadi kehilangan pengawasan di back office. Melihat reaksi seperti ini manajemen menciptakan “curry hugger” yaitu cara untuk menolak mereka yang enggan untuk mengalami perubahan sistem. Dan ini menyebabkan beredarnya rumor pemecatan diantara karyawan.
Resistance behaviour
Staf back office khususnya yang menanggapi adanya penundanaan dan kurangnya pelatihan bagi pengguna dengan menciptakan cerita yang mengakibatkan peperangan. Cerita semacam itu tersebar secara luas di customer service centre. Benar atau tidak, cerita-cerita tersebut dipengaruhi dengan adanya kecepatan pelaksanaan dengan menghambat penerimaan pengguna.
Episode 2 : escalating implementation problems (Mei 2006–Agustus 2006)
Initial condition
Manajemen mengubah tempat kerja untuk customer repesentatives dengan memperkenalkan sistem baru yang lain, disebut sebagai "Web device" yang digunakan secara paralel dengan sistem CRM. Web device adalah aplikasi spreadsheet dengan tujuan menangani masalah-masalah sementara dengan faktur pelanggan baru dan pendaftaran.
Object resistance
Kecanggungan bekerja dengan Web device secara paralel dengan sistem CRM menjadi sumber adanya perlawanan dalam dirinya sendiri di antara pengguna. Pada saat itu, manajemen membuat penjelasan bahwa jika perwakilan pelanggan tidak akan menerima sistem dan struktur baru, maka pemecatan akan dilakukan.
Reaction
Awalnya dijanjikan sistem yang lebih baik, users, dan untuk beberapa derajat, bahkan manajer grup, sekarang merasa ditinggalkan oleh manajemen.
Resistance behaviour
Selama dua bulan yang sangat kacau, ETI berjuang untuk menangani peningkatan atas implementation problems. ETI menanggapi frustasi pengguna dengan mengirimkan high-level managers ke pusat layanan pelanggan dengan maksud untuk menegaskan visi dari implementasi sistem CRM dan bagaimana berkomunikasi dengan pelanggan yang marah.
Episode 3: keeping the production going (September 2006–Juni 2007)
Initial condition
Meskipun sistem CRM terus ditingkatkan, namun kinerja staf justru semakin menurun.
Object resistance
Selama episode ini, obyek perlawanan terjadi khususnya di system advocates. Manajer melihat permasalahan dan secara terbuka menyatakan kekecewaan mereka kepada tingkat manajemen yang lebih tinggi.
Reaction
Kurangnya dukungan sistem dan perjuangan dalam manajemen menciptakan lingkungan kerja yang tidak stabil.  Customer support centre mulai kehilangan tenaga berpengalaman.
Resistance behaviour
Adanya kecurigaan yang terjadi bahwa manajer customer service yang baru memiliki agenda tersembunyi yang terus dilaksanakan dan berkembang.
Epilogue
Di bawah kepemimpinan manajer customer service yang baru, ETI memutuskan untuk merevisi rencana reorganisasi awal mereka. Manajer customer service meluncurkan rencana reorganisasi, termasuk upaya untuk meningkatkan laju implementasi CRM dan reorganisasi layanan pelanggan. Pada akhirnya organisasi ini kurang lebih kembali menggunakan sistem mereka pada tahun 2004.
IMPLIKASI
Studi ini memberikan wawasan baru bagi peran pengguna cynicism sebagai bagian dari perlawanan dalam implementasi IT.
Pertama, dalam penelitian ini peneliti menegaskan dan memperluas tentang model resistensi bagi pengguna yang diusulkan oleh Lapointe dan Rivard (2005).
Kedua, hasil penelitian ini juga memutuskan hubungan dengan kebijaksanaan konvensional dalam literatur resistensi pengguna. Penelitian yang masih ada biasanya mencirikan perlawanan pasif sebagai sesuatu yang konstan dari waktu ke waktu (Marakas & Hornik, 1996; Prasad & Prasad, 2000; Contu, 2008).
Ketiga, peneliti memperkenalkan sebuah literatur baru kepada komunitas IS secara umum dan pengguna literatur resistensi IS khususnya, untuk sebuah pengetahuan yang terbaik, dimana the organisational cynicism literature (Dean et al., 1998; Fleming & Spicer, 2003) belum diakui dalam literatur IS.
KESIMPULAN
Temuan dari peneliti menunjukkan bahwa perlunya alur kerja yang konseptual yang selanjutnya mengembangkan landasan teoritis untuk studi pengguna cynism. Adanya saran bahwa perlunya penelitian terapan yang bertujuan untuk mengembangkan teori-teori yang dapat membantu manajer untuk mengurangi pengguna cynicism.





Sumber: Viktoria Institute, Gothenburg, Sweden

Desperately Seeking Synergy (mati-matian mencari sinergi)


Sinergi berasal dari bahasa Yunani yaitu "Synergos" yang  berarti "bekerja bersama-sama.“
Dalam bisnis, sinergi mengacu pada kemampuan dua atau lebih unit atau perusahaan untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bekerja sama daripada mereka bekerja terpisah. 
gambarannya seperti ini NPV(ab) > NPVa + NPVb
NPV pada gambaran ini adalah proxy yang digunakan dalam mengukur value perusahaan.
dengan kata lain sinergi berusaha untuk menciptakan 1 + 1 = > 2 (satu tambah satu samadengan lebih dari 2)
dalam sudut pandang corporate strategy, usaha dalam menciptakan dilakukan melalui konfigurasi dan kordinasi.
untuk menciptakan sinergi bukanlah sesuatu yang mudah, bahkan untuk seseorang  yang sangat berpengalaman sekalipun. kebanyakan dari usaha dalam menciptakan sinergi hanya berujung pada kegagalan.

Pada penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun ini menemukan bahwa kebanyakan perusahaan yang sedang berusaha menciptakan sinergi sebenarnya tidak pernah benar-benar mencapai sinergi tersebut. Ada yang melenceng dari harapan manajemen, beberapa tidak lebih dari pertemuan-pertemuan ala kadarnya yang hampir sia-sia, beberapa lainnya berhasil pada jangka pendek dan mulai memudar setelahnya, dan beberapa lainnya hanya menjadi alat perusahaan induk yang tidak pernah benar-benar sesuai dengan tujuan utamanya.
Jika satu-satunya yang menjadi kendala dari upaya untuk mencapai sinergi adalah frustasi dan rasa malu mungkin manajemen akan melihat kegagalan tersebut sebagai sebuah pembelajaran, akan tetapi upaya dalam mencari sinergi seringkali juga menjadi sebuah opportunity cost. Upaya dalam mencari sinergi seringkali justru mengalihkan manajer dari tujuan utama yang sebenarnya, bahkan terkadang membuat bisnis yang sudah memberikan keuntungan yang nyata menjadi berantakan. Terkadang program untuk mencari sinergi justru menjadi bumerang, merusak hubungan dengan konsumen, merusak brand image atau bahkan merusak moral pegawainya.
Meski demikian menghindari kegagalan tersebut juga mungkin untuk dilakukan, hanya saja diperlukan sebuah perubahan sudut pandang dan cara berpikir mengenai sinergi. Dari pada hanya meyakini bahwa sinergi benar-benar bisa diciptakan, bisa dicapai dan akan menguntungkan, eksekutif korporat juga perlu bersikap lebih seimbang bahkan cenderung skeptis mengenai bahaya sinergi.
Para eksekutif korporat perlu berhati-hati pada daya tarik dari sinergi, mereka juga sebaiknya menggunakan insting mereka ketika berhadapan dengan program sinergi. Seperti misalkan menolak program sinergi yang dirasa tidak akan berhasil. Bahkan mungkin dengan lebih berhati-hati akan membuat  para eksekutif korporat dapat lebih memahami dimana sebenarnya kesempatan sinergi berada di organisasi mereka.
Penelitian ini percaya bahwa sebenarnya sinergi dapat memberikan dorongan yang besar untuk sisi bawah dari kebanyakan perusahaan-perusahaan besar.
Tantangan yang sebenarnya dari sinergi adalah untuk dapat memisahkan mana sinergi yang benar-benar dapat dilakukan dan menguntungkan dan mana sinergi yang hanya ilusi. Dengan lebih disiplin dan berhati-hati, maka para eksekutif akan dapat menemukan sinergi yang sebenarnya.
Penilaian yang tidak sesuai dan menganggun pemahaman para eksekutif, akan memicu bias sinergi yang kemudian membawa mereka melebih-lebihkan keuntungan dan meremehkan biaya yang harus dikeluarkan. Lalu kemudian muncul parenting bias yaitu keyakinan bahwa sinergi hanya dapat diperoleh dengan membujuk dan menarik bisnis unit untuk bergabung ke korporasi. Parenting bias biasanya dibarengi dengan skill bias yaitu bahwa keterampilan apapun yang dibutuhkan untuk mencapai sinergi akan tersedia di dalam organisasi. Dan akhirnya eksekutif akan menjadi korban dari upside yang menyebabkan mereka terlalu fokus pada potensi keuntungan dari sinergi yang mana mereka mengabaikan resiko yang mungkin timbul. Akumulasi dari ke- empat bias tersebut akan membuat sinergi sepertinya menjadi lebih menarik dan sangat mudah untuk diraih, lebih dari yang sebenarnya terjadi.

1.      Bias sinergi (synergy bias), dimana eksekutif melebih-lebihkan manfaat dan meremehkan biaya sinergi.
Sinergi bias menjadi sebuah obsesi dari beberapa eksekutif. Mereka mati-matian mencari sinergi sehingga mereka membuat keputusan dan investasi yang tidak bijak.
Salah satu contohnya adalah seorang manajer yang bertanggung jawab pada produk makanan berskala global. Ia percaya bahwa keuntungan yang lebih besar, harga saham yang lebih tinggi tergantung pada kooperasi antar unit-unit bisnis. Maka penciptaan sinergi pun menjadi prioritas utamanya. Para manajer diberikan penjelasan untuk mengutamakan kolaborasi dan strandarisasi lintas negara untuk “leverage the company’s brands internationally”.
Ditekan oleh CEO, para manajer membuat “high-profile sinergy initatives” dan hasilnya adalah kesuraman. Sebuah merek kuat cookie di U.K. membuat pengeluaran (expense) berdasarkan perhitungan di U.S. kemudian sebuah promosi pasta yang berjalan lancar di jerman, diluncurkan juga di itali dan spanyol, hal tersebut jelas merupakan bumerang. Mengikis baik margin dan juga market share. Ide dasarnya adalah membuat komposisi yang terstandar di semua negara eropa untuk beberapa produk makanan agar dapat mencapai ekonomies of scale dalam hal pembelian dan manufacturing. Hasilnya, konsumen menolak mentah-mentah produk yang di formulasi ulang tersebut.


2.      Bias parenting (parenting bias), yakni keyakinan bahwa sinergi akan dicapai hanya dengan membujuk atau menarik unit bisnis untuk bekerja sama.
Manajer korporasi yang terkena sinergi bias biasanya akan terkena bias-bias yang lain pula. Apabila mereka percaya bahwa sinergi benar-benar bisa diraih, mereka biasanya akan ikut berpartisipasi. Mereka berasumsi bahwa setiap manager unit akan fokus pada bisnis mereka masing-masing dan melindungi otoritas atas bisnis mereka dan meremehkan kesempatan untuk bekerja sama antara satu dengan yang lainnya. Ada sindrome yang menjangkiti mereka seperti misalkan sindrome “saya terlalu sibuk” “jangan campuri urusan yang tidak kamu pahami”

Parenting dalam hal ini diasumsikan sebagai holding company, corporate center, divisi atau apapun bagian yang menguasai atau mencakup lebih dari satu unit bisnis. Pada kenyatannya hal tersebut tidaklah sesuai. Manager bisnis memiliki banyak alasan untuk menciptakan hubungan dengan unit bisnis lain asalkan hubungan tersebut memberikan keuntungan bagi bisnis mereka. Mereka bahkan bekerja sama dengan suplier, customer atau berpartner di luar dari organisasi mereka sendiri, tidak kalah mengerikan adalah fakta bahwa mereka bekerja sama dengan pesaing langsungnya jika hal tersebut memang bagian dari kepentingan mereka.
Contoh pada industri musik. Empat perusahaan paling besar akan sangat sering berbagi pabrik produksi CD pada negara yang menghasilkan kekurangan penjualan untuk mendukung empat pabrik yang terpisah.
Ketika seorang manajer menolak bekerja sama, biasanya ia memiliki alasan yang sangat bagus baik bahwa mereka percaya tidak ada untungnya dari kerjasama tersebut ataupun dari segi biaya yang ditimbulkan termasuk seperti opportunity cost.

3.      Bias keterampilan (skills bias), yang berasumsi bahwa apa pun pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai sinergi akan tersedia dalam organisasi.
Para eksekutif korporasi percaya bahwa ketika mereka campur tangan, mereka berpendapat bahwa mereka dapat melakukan campur tangan yang efektif. Kenyataannya, tidak.
Akumulasi dari parenting bias dan skills bias membuat banyak program sinergi berakhir sia-sia.
Contohnya pada sebuah grup retail, sang CEO yakin bahwa ada manfaat yang besar dari peningkatan dan proses berbagi kemampuan logistik lintas perusahaan. Ia melihat bahwa pesaingnya dapat meraih keunggulan dari proses distribusi yang lebih cepat dan murah. maka ia kemudian membuat tim pengembang lintas bisnis, kemudian yang menaruh core corporate yang berkompetensi pada bidang logistik, karena tidak ada kandidat yang cukup kuat maka ia memilih manajer rantai pasokan  dari unit bisnis yang paling besar. Ia percaya bahwa manajer ini akan berperan semestinya dan terus berkembang. Hasilnya jelas kebalikan dari harapan sang CEO. Manajer yang tidak memiliki kemampuan tata cara logistik lintas bisnis ditambah dengan kemampuan komunikasi yang buruk sang manajer justru merusak upaya tim secara keseluruhan.

4.      Bias terbalik (upside bias), Eksekutif berkonsentrasi begitu keras pada potensi manfaat sinergi dengan mengabaikan risiko yang mungkin terjadi.
Apakah manfaat dari sinergi tercapai atau tidak, tetap ada sebuah konsekuensi yang sering kali tidak terlihat dimana hal tersebut disebut sebagai knock-on effect. knock-on effect dapat menguntungkan ataupun membahayakan, dan knock-on effect dapat berada dalam berbagai bentuk.
Contohnya sebuah program sinergi korporasi, membantu atau merusak dari sebuah usaha untuk menanamkan para pegawainya agar lebih memiliki akuntabilitas dalam kaitannya dengan performa bisnisnya agar lebih dapat diukur. Hal tersebut bisa memperkuat atau justru menghambat pada perubahan organisasi. Hal tersebut bisa meningkatkan atau justru menurunkan motivasi dan inovasi para pegawai. Atau hal tersebut dapat merubah cara berpikir manajer tentang bisnis mereka, peran mereka untuk menjadi lebih baik atau malah merusaknya.
Dalam kombinasi, empat bias ini membuat sinergi tampak lebih menarik dan lebih mudah dicapai daripada yang sebenarnya. Akibatnya, eksekutif perusahaan sering meluncurkan inisiatif yang pada akhirnya membuang-buang waktu dan uang dan bahkan kadang-kadang sangat merusak bisnis mereka. Untuk menghindari kegagalan tersebut, eksekutif perlu melakukan analisis jernih yang dapat menjelaskan manfaat yang bisa diperoleh, meneliti potensi keterlibatan perusahaan, dan memperhitungkan kerugian yang mungkin.

1.      What Is Synergy?

Kata sinergi berasal dari kata Yunani Synergos, yang berarti "bekerja bersama-sama". Dalam bisnis, sinergi mengacu pada kemampuan dari dua atau lebih unit atau perusahaan untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bekerja sama daripada mereka bisa bekerja secara terpisah. Peneliti menemukan bahwa sebagian besar perusahaan mengambil satu dari enam bentuk sinergi yaitu :
a.      Shared Know-How
Unit sering mendapat manfaat dari berbagi pengetahuan atau keterampilan. misalnya, meningkatkan hasil mereka dengan menggabungkan wawasan mereka ke dalam proses, fungsi, atau wilayah geografis tertentu. Know-how yang mereka bagi dapat ditulis dalam sebuah manual atau dalam pernyataan kebijakan dan prosedur. Namun yang sangat sering adalah keberadaannya berjalan secara tersembunyi, tanpa dokumentasi formal. Secara sederhana nilai dapat diciptakan melalui menunjukan satu pihak kepada yang lain dimana mereka memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan pekerjaan. Penekanan bahwa banyak perusahaan memprioritaskan pada peningkatan-pemerataan kompetensi inti dan berbagi cara praktek terbaik mencerminkan pentingnya tentang shared know-how.
b.      Coordinated Strategy
Coordinated Strategy Terkadang diterapkan untuk keunggulan perusahaan untuk menyelaraskan strategi dari dua atau lebih bisnisnya. Membagi market share antar unit bisnis mungkin bisa mengurangi kompetisi antar unit bisnis tersebut. Dan Mengkoordinasikan respon terhadap musuh bersama mungkin menjadi cara yang ampuh dan efektif untuk melawan ancaman persaingan. Meskipun strategi yang terkoordinasi pada prinsipnya menjadi sumber penting dari sinergi, namun hal tersebut sulit untuk dicapai. Menerapkan keseimbangan yang tepat antara intervensi perusahaan dan otonomi unit bisnis merupakan hal yang tidak mudah.
c.       Shared Tangible Resources
Unit bisnis terkadang dapat menghemat banyak uang dengan cara saling berbagi aset fisik ataupun sumber daya. Dengan menggunakan fasilitas manufaktur yang umum atau laboratorium penelitian contohnya, mereka mungkin meraih economies of sclae dan menghindari “kerja dua kali”. Perusahaan sering membenarkan akuisisi jenis usaha yang related dengan berlandaskan bahwa sinergi dapat diperoleh dari berbagi sumber daya.

d.      Vertical Integration
Koordinasi aliran produk atau jasa dari satu unit ke unit lain dapat mengurangi biaya persediaan, pengembangan produk yang lebih cepat, meningkatkan utilisasi kapasitas, dan meningkatkan akses pasar. Dalam industri proses seperti petrokimia dan hasil hutan, integrasi vertikal yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan manfaat sangat besar.
e.       Pooled Negotiating Power
Dengan menggabungkan pembelian mereka, unit bisnis yang berbeda dapat memiliki pengaruh yang lebih besar atas pemasok, sehingga dapat mengurangi biaya atau bahkan meningkatkan kualitas barang yang mereka beli. Perusahaan juga bisa mendapatkan manfaat serupa dengan cara serupa yaitu negosiasi gabungan yang dilaukan bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya, seperti pelanggan, pemerintah, atau universitas.
f.        Combined Business Creation
Penciptaan bisnis baru dapat difasilitasi dengan menggabungkan pengetahuan dari unit yang berbeda, dengan mengekstraksi kegiatan yang berlainan dari berbagai unit dan menggabungkan mereka dalam sebuah unit baru, atau dengan membentuk usaha patungan internal maupun aliansi. Sebagai hasil dari peningkatan perhatian dunia bisnis untuk regenerasi dan pertumbuhan perusahaan, beberapa perusahaan telah memberikan perhatian lebih pada jenis sinerg ini.

2.      A Disciplined Approach to Synergy


Dengan mengambil pendekatan sinergi yang lebih disiplin, seorang eksekutif dapat memperoleh keuntungannya sambil menghindari kefrustrasianya. Langkah pertama adalah untuk mengevaluasi biaya dan manfaat yang didapat. Jika manfaat bersihnya tidak jelas, maka eksplorasi lebih yang lebih dalam diperlukan. Jika akhirnya diketahui bahwa manfaatnya kecil, maka eksekutif tidak harus memaksa untuk mengejar sinergi tersebut kecuali risiko dari intervensi korporasi juga rendah. Jika tampaknya manfaatnya besar, eksekutif harus menentukan apakah intervensi oleh perusahaan induk masuk akal. Jika kesempatan parenting tidak terlalu jelas, maka intervensi harus dibatasi agar memfasilitasi eksplorasi lebih lanjut terlebih dahulu. Jika kesempatan parenting tidak ada, eksekutif harus menolak setiap keinginan untuk campur tangan. Jika kesempatan parenting yang ada jelas, maka eksekutif harus menyesuaikan intervensi agar sesuai dengan kesempatannya dan meminimalkan risiko. Ketika sinergi dikelola dengan baik, maka hal tersebut akan dapat menjadi sebuah anugrah tetapi ketika tidak dikelola akan dapat merusak sebuah keyakinan dan mengikis kepercayaan organisasi antara unit-unit bisnis serta antara unit dan pusat perusahaan.


Penulis:  Michael Gold & Andrew Campbell